Senin, 27 September 2010

REDUCED IMPACT LOGGING


Saat Penelitian di PT. Gema Hutani Lestri 
PENDAHULUAN

Sebagai salah satu penyangga sistem kehidupan dan sebagai modal Pembangunan Nasional, hutan memiliki manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia baik manfaat ekologis, sosial budaya maupun ekonomis, oleh sebab itu hutan harus dijaga kelestariannya (Anonim, 1993).

Luas daratan Provinsi Maluku adalah 5.418.500 ha yang terdiri dari areal hutan seluas 4.663.346 ha dan areal tak berhutan seluas 775.154 ha. Areal berhutan seluas 4.663.346 ha tersebut terdiri dari hutan suaka alam (HSA) seluas 475.433, hutan lindung (HL) 779.618 ha, hutan produksi terbatas (HPT) 885.947 ha, hutan produksi (HP) 908.702, hutan konversi (HPK) 1.633.646 ha. Kegiatan pengeksplotasian ini telah memberikan dampak positif bagi Negara pada umumnya dan daerah Maluku pada khususnya. Namun demikian bukan hanya dampak positif yang diberikan, tetapi kegiatan pengeksplotasian juga memberikan dampak negatif yang cukup besar.

Hal ini dikarenakan perlindungan areal hutan dan isinya seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang dan paraturan pemerintah, tidak dihiraukan oleh para pengelola hutan termasuk pemilik hutan (pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan). Akibat dari semua kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan tanpa memperhatikan azas kelestarian menyebabkan kawasan hutan di Maluku yang rusak telah mencapai 2.762.754 ha (59%) dari total daerah berhutan dan perlu penanganan secara saksama. Disamping itu masih terdapat areal di luar kawasan hutan di Maluku yang juga perlu direhabilitasi seluas 310.071 ha (Limba S. 2007).
Gagalnya mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari di Indonesia selama ini adalah kurangnya tindakan pembenahan terhadap hutan, sistem penyelenggaraan kehutanan melalui penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kearifan lokal yang dapat menunjang pencapaian pengelolaan hutan secara lestari dan penegakan etika profesi secara konsisten (Suhendang E, 2001).

PT. Gema Hutani Lestari bekerja sama dengan Inhutani I mengelola konsesi hutan seluas 148. 450 ha yang berada di kawasan pegunungan bagian tengah Pulau Buru Provinsi Maluku yang dahulunya dikelola oleh PT. Gema Sanubari. Melalui Nota Kesepakatan (MOU) PT. Gema Hutani Lestari dengan TFF yang disponsori oleh ITTO pada tahun 2005, maka diubah secara bertahap seluruh kegiatan operasi di HPH ke sistem operasi RIL. Hal ini merupakan unsur penting dari strategi perusahaan jangka panjang untuk mencapai sertifikasi hutan. Atas dasar inilah penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai “Dampak Perbandingan Sistem Penyaradan Kayu Reduced Impact Logging (RIL) Dengan Sistem Konvensional Terhadap Tingkat Kerusakan Tegakan Tinggal Pada PT. Gema Hutani Lestari di Pulau Buru Provinsi Maluku”

REDUCED IMPACT LOGGING

RIL adalah suatu pendekatan sistematis dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi terhadap pemanenan kayu. RIL memerlukan wawasan ke depan dan ketrampilan yang baik dari operator serta adanya kebijakan tentang lingkungan yang mendukungnya.
Ellias (2001) Alasan penerapan RIL adalah :
  1. Pengurangan resiko lingkungan dan sosia
  2. Ekonomi
  3. Pasar produk kehutanan
  4. Kebijakan dan penerapan yang tepat
Kegiatan RIL memiliki pola perencanaan yang tidak terdapat pada pembalakan konvensional. Antara 6 sampai 12 bulan sebelum penebangan Tim RIL menginventarisir lokasi penebangan dan memotong akar/liana yang tumbuh pada pohon yang berpotensi untuk ditebang. Dengan menggunakan data inventarisasi dibuat peta sebaran pohon, pemilihan pohon yang ditebang, perencanaan jalan sarad dan pemilihan pohon komersil untuk ditebang berikutnya.

Sistem pemanenan kayu yang paling umum digunakan di Indonesia adalah sistem mekanis dengan subsistem traktor di hutan alam di luar Jawa dan sistem manual dengan sub sistem penyaradan sapi di Pulau Jawa.

TEKNIK PEMANENAN KONVENSIONAL

Pemanenan kayu konvensional merupakan teknik pemanenan kayu yang selama ini dipergunakan dalam pengelolaan hutan; yang ditandai dengan sifat-sifat perencanaan yang kurang, penggunaan teknik pemanenan yang kurang tepat dan kurang terkontrol, serta kurang/tidak menerapkan teknik pemanenan kayu yang berpedoman pada TPTI.


Elias (1999) menyatakan bahwa sistem pemanenan konvensional ini dapat dilihat dari :
  1. Jaringan jalan sarad dan arah rebah tidak direncanakan dalam peta dan saat operasi penebangan.
  2. Teknik penebangan belum tepat (takik rebah dan takik balas terlalu tinggi).
  3. Operator chainsaw dan operator penyarad belum berkoordinasi satu sama lain dengan menggunakan peta sebaran pohon.
Elias (1999) menyatakan bahwa pemanenan kayu dengan teknik RIL didasarkan pada prospektif masa depan dari tegakan yang akan dipanen yang didasari data dan informasi yang akurat untuk digunakan dalam perencanaan dan digunakan untuk mendesain lay out dari petak-petak tebang dan unit-unit inventarisasi serta digunakan untuk merencanakan operasi pemanenan

Penyaradan kayu adalah kegiatan memindahkan kayu dari tempat tebangan ke tempat pengumpulan kayu (TPn) atau pinggir jalan angkutan, yang jarak pengangkutannya pendek. Untuk mengurangi kerusakan lingkungan (tanah maupun tegakan tinggal) yang ditimbulkan oleh kegiatan penyaradan kayu, penyaradan seharusnya dilakukan sesuai dengan rute penyaradan yang sudah direncanakan di atas peta. (Elias 1985 dalam Muhdi 2001).

Ellias (2001) sistem penyaradan dapat dilakukan dengan bantuan binatang dan manusia, penyaradan dengan traktor, penyaradan dengan gaya grafitasi, penyaradan dengan kabel, penyaradan dengan balon, penyaradan dengan pesawat udara (helikopter). Alat penyaradan yang akan dipakai dalam kegiatan penyaradan kayu harus dipilih sesuai dengan keadaan lapangan dan ukuran kayu yang disarad. Sistem pemanenan kayu dalam pelaksanaan TPTI di hutan alam yang selama ini dipakai oleh para pemegang HPH adalah long wood sistem, dengan peralatan yang digunakan dalam kegiatan penyaradan adalah traktor crawler 110-130 PK, yang dilengkapi dengan pisau dozer dan winch.


Traktor crawler merupakan salah satu alat penyaradan yang berfungsi untuk menyarad kayu dengan menggunakan ban baja atau ban rantai (track) yang dilengkapi dengan blade yang berfungsi untuk membuat dan membuka jalan sarad dan untuk menumpuk kayu.

Penyaradan betapapun hati-hati dilaksanakan, namun kerusakan pada vegetasi yang akan ditimbulkan karenanya tidak mungkin untuk diadakan sepenuhnya. Gerakan-gerakan traktor waktu mendatangi dan menyarad kayu dalam setiap petak tebang senantiasa akan menabrak dan menggusur pohon-pohon yang masih berdiri, mendongkel dan mengupas serta memadatkan permukaan tanah (Thaib dan Sona, 1991 dalam Muhdi 2001).

Pada ahli kehutanan mengatakan bahwa kegiatan pengusahaan hutan terutama pemanenan hasil hutan dengan traktor yang beroperasi diatas permukaan tanah (ground based logging system) akan mengakibatkan kerusakan yang tinggi terhadap tegakan tinggal (dalam tebang pilih). Berdasarkan pengaruh yang ditimbulkan, maka jalan sarad dibedakan atas dua cara kerja yakni cara pertama ; jalan sarad direncanakan dan dibuat sebelum penebangan dan penyaradan kayu (RIL). Cara kedua ; jalan sarad tidak direncanakan atau ditentukan terlebih dahulu, dimana operator traktor membuat jalan sarad menurut kehendaknya (konvensional).

POTENSI DAN PENYEBARAN TEGAKAN SEBELUM PENEBANGAN

Berdasarkan hasil penelitian pada RKT 2007 PT. Gema Hutani Lestari di lokasi Wainibe-Waigeren, yang dilakukan secara acak berdasarkan presentasi klas kelerengan dengan 4 kali perlakuan diketahui potensi tegakan sebelum penebangan untuk sistem Reduced Impact Logging sebanyak 651 pohon atau rata-rata 40,7 pohon per petak ukur. Sebaran diameter pohon dibagi dalam klas-klas diameter pohon sebagai berikut : klas diameter I (20-29 cm) rata-rata sebanyak 106 pohon (6,63 m3) klas diameter II (30-39 cm) rata-rata sebanyak 120 pohon (7,50 m3), klas diameter III (40-49 cm) rata-rata sebanyak 113 pohon (7.06 m3), klas diameter IV (diatas 50 cm) rata-rata sebanyak 312 pohon (19.5 m3)

Potensi tegakan sebelum penebangan untuk Sistem Konvensional dalam dijumpai sebanyak 632 pohon atau rata-rata 39.5 per petak ukur. Sebaran ukuran diameter pohon yang dibagi dalam klas-klas diameter pohon adalah : klas diameter I (20-29 cm) rata-rata sebanyak 128 pohon (8.0 m3) klas diameter II (30-39 cm) rata-rata sebanyak 126 pohon (7,88 m3), klas diameter III (40-49 cm) rata-rata sebanyak 104 pohon (6.50 m3), klas diameter IV (50 cm Up) rata-rata sebanyak 274 pohon (17.13 m3)

Potensi Tebang PT. GHL Tahun 2007
POHON YANG DITEBANG

Meranti merupakan salah satu jenis yang paling dominan pada areal PT. Gema Hutani Lestari, sehingga pohon yang ditebang di lokasi penelitian adalah Meranti (Shorea Sp). Jumlah pohon yang ditebang untuk keseluruhan petak ukur pada Peta RIL sebanyak 237 pohon (1067.4 m3) atau rata-rata 14.8 pohon (66.71 m3) untuk setiap petak ukur. Setelah diadakan penebangan tegakan tinggal yang seharusnya ada pada setiap petak ukur sebanyak 414 pohon (775.04 m3) atau rata-rata 25.9 pohon (48.44 m3) dan setelah dilakukan kegiatan penyaradan tegakan sehat yang tinggal sebanyak 260 pohon (367.43 m3) atau rata-rata 16.25 pohon (22.96 m3) per petak ukur.

Petak Konvensional jumlah pohon yang ditebang untuk keseluruhan petak ukur sebanyak 204 pohon (998.01 m3) atau rata-rata 12.75 pohon (62.38 m3) untuk setiap petak ukur, setelah diadakan penebangan tegakan tinggal yang seharusnya ada pada setiap petak ukur sebanyak 428 pohon (656.16 m3) atau rata-rata 26.75 pohon (41.01 m3) dapat dilihat pada lampiran 2, dan setalah dilakukan kegiatan penyaradan tegakan sehat yang tinggal sebanyak 16 pohon (216.15 m3) atau rata-rata 10.44 pohon (13.51 m3).

KERUSAKAN TEGAKAN DAN PENYEBABNYA

Besarnya kerusakan tegakan tinggal berdasarkan tipe kerusakan sebagai akibat kegiatan penyaradan kayu baik dengan teknik Reduced Impact Logging (RIL) maupun dengan teknik konvensional didominasi oleh kerusakan kulit, batang dan banir. Presentasi kerusakan dengan teknik RIL untuk masing-masing jenis adalah kerusakan kulit sebesar 12.41 % kerusakan batang 18.09 % kerusakan banir 7.17 %. Dari ketiga jenis kerusakan yang dilihat, jenis kerusakan batang yang paling besar, ini terjadi pada kelerengan curam yakni rata-rata sebesar 25,6 %. Lapangan berlereng datar 11.8 %, berlereng landai 15.0 %, berlereng bergelombang 19.9 %. Dari presentasi kerusakan yang besar terjadi pada kelerengan yang curam.

Presentasi kerusakan dengan teknik konvensional untuk masing-masing jenis adalah kerusakan kulit sebesar 23.08 % kerusakan batang 29.18 % kerusakan banir 9.17 %. Dari ketiga jenis kerusakan yang dilihat, jenis kerusakan batang yang paling besar, ini terjadi pada kelerengan curam yakni rata-rata sebesar 35.4 %. Lapangan berlereng datar 20.32 %, berlereng landai 26.01 %, berlereng bergelombang 35.03 %. Dari presentasi kerusakan yang besar terjadi pada kelerengan yang curam.

Tujuan dari penggunaan pendekatan ini adalah untuk mengurangi dampak pada sungai dengan sedapat mungkin menghindari melintasi sungai. Pembalakan lebih efisien serta meningkat jika informasi kontur dan sungai ditampilkan bersama-sama dengan data posisi pohon sehingga dapat digunakan untuk mendesain jaringan pemanenan yang optimal. Dampak dari bentuk/contoh pemanenan tersebut menunjukan bahwa penyaradan kayu dengan teknik RIL dapat mengurangi/menekan jumlah kerusakan tegakan tinggal untuk tingkat pohon sebesar 37.67 %. Dibandingkan dengan kerusakan akibat pemanenan kayu konvensional yang kerusakannya sebesar 61.43 %.

Adanya perbedaan angka presentasi kerusakan tersebut adalah karena kerusakan yang diakibatkan oleh: Kondisi lapangan yang curam, kayu yang disarad dalam ukuran yang panjang, gesekan pisau traktor, benturan-benturan kayu, lemahnya sistem pengawasan dan kurangnya pemahaman tentang pemanenan kayu baik RIL maupun Konvensional, serta target produksi.
Pada dasarnya perencanaan yang baik akan memperoleh hasil yang baik pula. Bertolak dari hasil diatas Elias (1999) menyatakan bahwa pemanenan kayu dengan teknik RIL didasarkan pada prospektif masa depan dari tegakan yang akan dipanen yang didasari data dan informasi yang akurat untuk digunakan dalam perencanaan dan mendesain lay out dari petak-petak tebang operasi pemanenan kayu seperti : Peta pemanenan kayu, Pengawasan, dan Pemeriksaan serta Inspeksi blok, pelatihan para pekerja secara rutin, serta prosedur dan teknik kerja.

Kesemuanya ini dikatakan sebagai petunjuk atau pedoman secara teoritis yang perlu dilaksanakan, sehingga dengan demikian dapat dihindari atau ditekan sejauh mungkin kerusakan pada pohon-pohon yang merupakan persediaan untuk rotasi tebang berikutnya. Kejadian yang sering ditemui dilapangan yakni operator traktor tidak mengetahui kedudukan kayu dengan pasti dilapangan sehingga memaksa traktor bergerak mencari kayu untuk disarad. Keadaan demikian menjadi parah pada lapangan berlereng bergelombang dan curam dimana traktor biasanya bergerak secara sig-sag untuk mencari kayu.

Secara umum kerusakan pada tegakan tinggal yang disebabkan oleh kegiatan penyaradan yakni
KERUSAKAN KULIT

Kerusakan yang terjadi dalam sistem RIL sebesar 49 pohon (70.11 m3) atau rata-rata 3.06 pohon (4.38 m3) untuk setiap petak ukur. Untuk sistem konvensional sebesar sebesar 98 pohon (110.5 m3) atau rata-rata 6.13 pohon (6.91 m3) untuk setiap petak ukur.Presentasi kerusakan sistem RIL dimana kerusakan kulit sebesar (12.41 % rata-rata setiap petak ukur. Sedangkan untuk sistem Konvensional rata-rata kerusakan sebesar 23.08 %. Keadaan lapangan pun sangat mempengharui kerusakan pada kulit batang yakni untuk sistem RIL pada kelerengan datar 6.88 % kelerengan landai 9.72 %, kelerengan Bergelombang 12.93 %, kelerengan curam 20.11 % sehingga total rata-rata sebesar 12.41 %. Sedangkan tingkat kerusakan berat berada pada sistem Konvensional dimana untuk kelerengan datar 16.39 %, kelerengan landai 21.08 %, kelerengan bergelombang 25.24 %, kelerengan curam 29.62 % sehingga total rata-rata kerusakan untuk system Konvensional 23.08 % rata-rata per petak ukur.

Kriteria yang digunakan dalam mengklasifikasi kerusakan kulit yaitu mencapai kayu selebar 0,25 lingkaran batang dengan panjang kerusakan antara 0 – 1,5 meter (klasifikasi sehat), 1,6 – 6,0 meter (klasifikasi luka), dan 6,1 meter up (klasifikasi rusak). Klasifikasi kerusakan kulit dapat dilihat pada lampiran 9 RIL maupun Konvensional. Kerusakan kulit yang terjadi adalah akibat gesekan pisau traktor, dan akibat benturan-benturan kayu yang disarad dan gesekan kabel.

KERUSAKAN BATANG

Kerusakan batang yang terjadi adalah berupa Tumbang/roboh, Pecah akibat dorongan atau tertumbuk pisau traktor, sedangkan kerusakan batang berupa Patah tidak ditemui. Hal ini karena penyebab langsung patah pohon disebabkan oleh penebangan, selain itu pohon tumbang akibat dorongan traktor jarang sekali dapat mematahkan pohon lain.

Kerusakan batang merupakan presentasi kerusakan yang terbesar bila dibandingkan dengan kedua jenis kerusakan lainnya. Kerusakan batang cenderung terjadi akibat dari keadaan lapangan yang cukup berat dan apabila diadakan kegiatan penyaradan menggunakan alternatif lain yang lebih mempermudah jalannya kelancaran operasi misalnya dengan membuat tempat pengumpulan kayu diatas lereng akan mengakibatkan kerusakan semakin bertambah apabila traktor kembali dengan menyarad kayu dengan senantiasa menabrak pohon-pohon yang ada disekitarnya, kerusakan batang dapat dilihat pada lampiran 4. Kerusakan batang yang terjadi untuk sistem RIL sebesar 73 pohon (97.45 m3) atau rata-rata 4.56 pohon (6.09 m3) untuk masing-masing petak ukur. Sedangkan untuk sistem Konvensional sebesar 124 pohon (142.16 m3) atau rata-rata 7.75 pohon (8.89 m3) untuk masing-masing petak ukur.

Presentasi kerusakan untuk Sistem RIL adalah 289.44 % atau rata-rata 18.09 % untuk setiap petak ukur. Kerusakan batang pada kelerengan datar 11.8 %, kelerengan landai 15 %, kelerengan bergelombang 19.90 %, kelerengan curam 25.63 %. Kerusakan batang yang terjadi untuk sistem Konvensional pada kelerengan datar 20.32 %, kelerengan landai 26.01 %, kelerengan bergelombang 35.03 %, kelerengan curam 35.35 %, sehingga total kerusakan batang sebesar 466.85 % atau rata-rata 29.18 % untuk setiap petak ukur. Untuk jenis kerusakan ini hanya satu kriteria yang digunakan yaitu toboh/tumbang pecah dan patah termasuk (klasifikasi rusak).

KERUSAKAN BANIR

Kerusakan banir yang terjadi akibat tumbukan pisai traktor yang merupakan penyebab langsung dan juga akibat kayu yang disarad, tidak memberikan kerusakan yang besar dibandingkan dengan kulit dan batang, karena merupakan penyebab tidak langsung. Biasanya kerusakan ini terjadi dikarenakan para operator yang bekerja untuk memenuhi target sehingga memaksa mereka untuk bekerja secara cepat. Dengan upah borongan para operator seolah-olah berlomba memburu upah yang tinggi sehingga kayu yang seharusnya dipotong baru disarad tidak dipedulikan, sehingga mengakibatkan daya tarik traktor tidak stabil dengan gerakan sig-sag dan senantiasa menabrak pohon yang ada disamping kiri dan kanan jalan.

Jenis kerusakan banir dengan sistem RIL sebesar 32 pohon (114.72 m3) atau rata-rata 2 pohon (7.17 m3) untuk setiap petak ukur. Untuk sistem Konvensional sebesar 39 pohon (183.34 m3) atau rata-rata 2.43 pohon (11.46 m3) untuk setiap petak ukur, jenis kerusakan banir dapat dilihat pada lampiran 5. Untuk presentasi kerusakan banir dapat dilihat pada lampiran 12, dimana kerusakan dengan sistem RIL sebesar 133.4 % atau rata-rata 8.3 % untuk tiap petak ukur. Untuk sistem Konvensional presentasi kerusakan sebesar 146.67 % atau rata-rata 9.17 %. Kriteria yang digunakan dalam menentukan klasifikasi kerusakan.

POTENSI TEGAKAN UNTUK TEBANGAN BERIKUTNYA

Dalam pedoman tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), menetapkan persyaratan umum dimana banyaknya rata-rata pohon inti untuk setiap hektar yang harus ditinggalkan dengan diameter minimum, dimana penentuan berdasarkan pada jenis hutan dan siklus tebangan. Untuk hutan alam campuran didominasi oleh family dipterocarpaceae, dimana ditentukan batas diameter pohon yang ditebang yaitu 50 cm up dengan siklus tebangan 35 tahun. Dengan demikian jumlah pohon inti yang harus tinggal tiap hektar yaitu 25 pohon/ha dengan diameter minimum 20 cm up. Pohon-pohon inti diberi tanda, sehingga mempermudah penebangan untuk 35 tahun berikutnya.

Dalam penelitian ini tegakan yang seharusnya ada setelah dikurangi pohon tebang untuk sistem RIL sebesar 25.9 pohon atau rata-rata (48.44 m3), sedangkan tegakan yang seharusnya ada untuk sistem Konvensional sebesar 26.8 pohon atau rata-rata (40.01 m3).

Tegakan tinggal yang seharusnya ada setelah dikurangi pohon tebang untuk sistem Konvensional memiliki potensi 26.8 pohon atau rata-rata (40.01 m3) sedangkan sistem RIL sebesar 25.9 pohon atau rata-rata (48.44 m3), dalam setiap petak ukur apabila jumlah tersebut merupakan tegakan yang sehat setelah kegiatan penebangan dan penyaradan, maka kelestarian hutan dianggap terjamin. Hal ini tidaklah demikian karena setelah dikurangi dengan pohon yang rusak akibat kegiatan penyaradan (tidak termasuk penebangan) mengalami penurunan yakni untuk sistem RIL dengan jumlah pohon sehat 260 pohon (367.43 m3) atau rata-rata 16.25 pohon (22.96 m3) untuk setiap petak ukur. Untuk sistem Konvensional jumlah pohon yang sehat 167 pohon (216.15 m3) atau rata-rata 10.44 pohon (13.51 m3) untuk setiap petak ukur.

Dari jumlah tegakan yang sehat tersebut dapat disimpulkan bahwa persedian untuk rotasi tebang berikutnya untuk sistem RIL maupun sistem konvensional dianggap terjamin dimana pohon yang sehat 260 pohon (367.43 m3) atau rata-rata 16.25 pohon (22.96 m3) untuk sistem RIL dan sistem konvensional dengan jumlah pohon yang sehat 167 pohon (216.15 m3) atau rata-rata 10.44 pohon (13.51 m3) untuk setiap petak ukur. Mengingat jumlah pohon yang termasuk klasifikasi kerusakan untuk kulit dan banir dapat berkembang walaupun pertumbuhannya terhambat.

Pengujian hipotesisis diketahui tidak adanya pengaruh nyata metode sistem penyaradan (antar baris) terhadap kerusakan tegakan tinggal. Sedangkan untuk kelerengan (antar kolom) diketahui adanya pengaruh yang sangat nyata kelerengan (antar kolom) terhadap kerusakan tegakan tinggal, lampiran 13. Dari hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa Penerapan RIL di lapangan pada PT. Gema Hutani Lestari belum diterapkan dengan maksimal dan intensif, mengingat kurangnya sinergi kerja dan pengawasan serta pemahaman yang baik tentang penerapan RIL

KESIMPULAN
  1. Berdasarkan hasil inventarisasi tegakan asal untuk sistem RIL yang berdimater 20 cm up adalah sebanyak 651 pohon atau rata-rata (40.7 m3) per petak ukur, dengan komposisi sebagai berikut : kelas diameter 1 (20-29 cm) rata-rata sebanyak 106 pohon (6,63 m3) klas diameter II (30-39 cm) rata-rata sebanyak 120 pohon (7,50 m3), klas diameter III (40-49 cm) rata-rata sebanyak 113 pohon (7.06 m3), klas diameter IV (50 cm Up) rata-rata sebanyak 312 pohon (19.5 m3).
  2. Potensi tegakan untuk asal untuk sistem Konvensional yang berdiameter 20 cm up adalah sebesar 632 pohon atau rata-rata 39.5 per petak ukur. Penyebaran ukuran diameter pohon yang dibagi dalam klas-klas diameter pohon adalah untuk klas diameter I (20-29 cm) rata-rata sebanyak 128 pohon (8.0 m3) klas diameter II (30-39 cm) rata-rata sebanyak 126 pohon (7,88 m3), klas diameter III (40-49 cm) rata-rata sebanyak 104 pohon (6.50 m3), klas diameter IV (50 cm Up) rata-rata sebanyak 274 pohon (17.13 m3).
  3. Presentasi kerusakan tegakan tinggal yang berdiametr 20 cm up untuk sistem RIL, sebagai berikut : jenis kerusakan kulit sebesar 12.41 % kerusakan batang 18.09 % kerusakan banir 7.17 %. Presentasi kerusakan dengan teknik Konvensional untuk masing-masing jenis adalah kerusakan kulit sebesar 23.08 % kerusakan batang 29.18 % kerusakan banir 9.17 %.
  4. Kerusakan yang terjadi pada lapangan berlereng Curam lebih besar dibandingkan dengan kerusakan pada kelerengan Datar, landai dan bergelombang, baik untuk sistem RIL maupun sistem Konvensional.
  5. Pengujian hipotesisis komparatif untuk analisis varian klasifikasi ganda untuk penggunaan Anova dua jalan diketahui tidak adanya pengaruh nyata metode sistem penyaradan (antar baris) terhadap kerusakan tegakan tinggal. Sedangkan untuk kelerengan (antar kolom) diketahui adanya pengaruh yang sangat nyata kelerengan (antar kolom) terhadap kerusakan tegakan tinggal.
  6. Dari hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa Penerapan RIL pada PT. Gema Hutani Lestari belum diterapkan dengan maksimal dan intensif, mengingat kurangnya sinergi kerja dan pengawasan serta pemahaman yang baik tentang penerapan RIL, antara bidang Produksi dan Perencanaan Hutan
SARAN
  1. Tingkat kerusakan dapat ditekan apabila perencanaan pemanenan dapt dilaksanakan dengan baik, berupa perencanaan pemanenan kayu seperti : Peta sebaran pohon dan peta topografi. Peta pemanenan kayu berisi : Garis kontur, areal yang dilindungi, letak pohon yang akan ditebang (berdiameter. 50 cm), letak pohon induk; pohon dilindungi dan pohon inti: Jalan angkutan dan jaringan jalan sarad.
  2. PT. Gema Hutani Lestari hendaknya dapat mengevaluasi kembali pertimbangan manajemen untuk penerapan pembalakan berdampak rendah (RIL) sehingga pemahaman tentang penerapan sistem RIL serta cita-cita dasar untuk mencapai sertifikasi hutan dapat tercapai.
  3. Penelitian lanjutan mengenai faktor-faktor lain yang lain turut mempengharui kerusakan tegakan tinggal seperti ; (Panjang jalan sarad, ukuran kayu yang disarad, produktifitas penyaradan, biaya dan manfaat finansial pemanenan

Pengukuran Logs di PT. GHL

Lokasi Pembibitan PT. GHL

Lokasi PUP PT. GHL

Lokasi Penelitian PT. GHL


Tidak ada komentar:

Posting Komentar